--Salam tementku. Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) Peter O'Neill, bukan John O'Neill, dalam waktu singkat langsung meraup popularitas yang tinggi di ibukota PNG, Port Moresby dan Australia. Media-media di kedua negara menjadikan ancamannya terhadap Indonesia sebagai berita utama.
Ancaman itu adalah, jika dalam waktu 48 jam Indonesia tidak bisa menjelaskan alasan mengapa pesawat tempur TNI AU mengintersepsi pesawat yang menerbangkan Wakil PM PNG Belden Namah, maka Dubes RI akan diusir dari Port Moresby. Sementara Kedubes PNG di Jakarta, juga akan mereka tutup.
Ancaman itu terkait insiden akhir Desember 2011. Pesawat yang membawa Wakil PM PNG yang terbang dari Malaysia menuju Port Moresby, diintersepsi pesawat TNI AU. Intersepsi dilakukan sebab sesuai data radar TNI AU, pesawat asing itu tidak mengantongi izin terbang untuk melintasi wilayah Indonesia.
Sangat wajar jika media PNG dan Australia setempat memuji luar biasa kepada O'Neill. Soalnya mereka tahu kondisi Indonesia. Saat ini berbagai kesulitan sedang dihadapi Indonesia dan presidennya lemah dalam akuntabilitas.
Presiden ke-6 Republik Indonesia, SBY, bukan pemimpin sekaliber Soekarno ataupun Soeharto yang tidak akan diam jika diancam. Baru di era Peter O'Neill, bangsa PNG berani menunjukkan indentitasnya.
O'Neill merupakan warga PNG yang keturunannya masih banyak tinggal di Australia. Kakek moyang O'Neilll, berasal dari Skotland. Ayahnya menikah dengan penduduk pribumi PNG. O'Neill lahir dan besar di PNG tetapi tiga dari lima anaknya, disekolahkan di Australia.
Sejak merdeka dari Australia pada 1975, PNG selalu berada di bawah bayang-bayang bekas penjajahnya. Dengan Indonesia, PNG tidak bisa berbicara banyak. Sebab dengan penduduknya yang hanya berjumlah 6,6 juta jiwa dan mayoritas mereka masih hidup dalam keadaan pas-pasan, PNG tidak bisa berbuat banyak.
Dengan Australia, posisi tawar PNG juga relatif lemah. Sekalipun sudah dimerdekakan, tetapi sebagian besar APBN PNG, masih bergantung pada Australia. Tidak heran jika hampir semua media di PNG juga dikendalikan oleh dana dan pebisnis asal Australia. Opini PNG pun dibentuk oleh jurnalis Australia. Sehingga ketika insiden intersepsi pesawat TNI AU itu muncul, yang paling ramai memberitakan soal ancaman itu, adalah Radio dan Televisi Australia atau media negeri Kanguru.
Bapak bangsa PNG sendiri, Sir Michael Somare, termasuk tokoh PNG yang punya masalah dengan Australia. Pada 2006 ia dilecehkan. Saat itu Somare akan meninggalkan Brisbane, Australia, menuju Port Moresby. Di bandara internasioal tersebut petugas keamanan memaksa Somare untuk melepaskan sepatunya untuk diperiksa oleh alat pendeteksi.
Somare menolak dan insiden itu menimbulkan kegaduhan diplomatik antara kedua negara. Insiden itu membuat bangsa PNG seperti sebuah entitas yang dipojokkan oleh warga kulit putih.
Hubungan diplomatik PNG-Australia baru normal kembali setelah Kevin Rudd terpilih sebagai PM menggantikan John Howard. Normalnya kembali hubungan PNG-Australia membuat pengaruh Australia di PNG, kembali hidup. O'Neill boleh dibilang bagian dari kehidupan itu.
Di beberapa kalangan ada anggapan Sir Michael Somare, sangat lemah dalam menghadapi Indonesia. Di era pemerintahan Michael Somare, PNG dan Indonesia menanda-tangani kesepakatan untuk tidak saling menyerang dan berusaha menyelesaikan semua konflik kedua negara melalui perundingan damai.
Kesepakatan itu justru dilihat sinis oleh kelompok oposisi dengan menyebutnya sebagai kesepakatan yang naif dan lemah. Tapi kelompok oposisi sendiri tidak bisa berbuat banyak. Sebab Somare memiliki kemampuan luar biasa.
Ia berkuasa akumulatif 17 tahun, sekalipun masa pemerintahannya tidak secara berturut-turut. Ada saatnya Somare hanya menduduki posisi Menteri Luar Negeri. Tetapi pengaruh Somare tetap saja kuat.
Peter O'Neill sendiri dilihat sebagai pemimpin baru PNG yang latar belakang dan visinya berbeda jauh dengan Somare. Selain itu, O'Neill merupakan pemimpin politik yang berhasil meyakinkan anggota parlemen agar keabsahan jabatan Michael Somare sebagai PM, dihapus.
Alasannya, sejak pertengahan 2011, selama 4 bulan berturut-turut, Somare absen dari pemerintahan. Somare dioperasi jantung di Singapura. Akibatnya, politisi berusia 75 tahun itu, masih mengalami kesulitan untuk kembali PNG. Somare tidak ingin dioperasi di Australia sekalipun lebih dekat dengan negaranya, karena sejarah hubungan yang tidak baik dengan Australia. Hingga kini tidak ada yang bisa memastikan, kapan Somare bisa sembuh total.
Indonesia sudah menjawab ancaman PNG.
Dugaan sementara, O'Neill tidak akan merespons langsung penjelasan Indonesia. Tipis kemungkinan O'Neill mengusir Dubes RI. Tetapi O'Neill harus tetap memperlihatkan kepada para pendukungnya bahwa dia berada di atas angin dalam menghadapi Indonesia.
Persoalan serius yang dihadapinya saat ini adalah bagaimana mempertahankan jabatan PM. Sebab keabsahannya terancam batal. Temuan yang didapatkan Mahkamah Agung menyebutkan pemecatan PM Michael Somare, cacat hukum. Sehingga O'Neill diminta untuk segera melepas jabatannya. Kini bekas pengusaha yang terjun di dunia politik itu, sedang berjuang keras bagaimana melawan temuan Mahkamah Agung.
Bagi kita di Indonesia, tanpa harus mencampuri masalah dalam negeri PNG, ancaman O'Neill itu sebetulnya dapat kita jadikan momentum untuk melakukan konsolidasi bangsa. Jika Presiden SBY punya kemauan politik untuk melakukan terobosan dengan tujuan utama menyelamatkan NKRI dari kehancuran, inilah saatnya.
Indonesia mutlak atau wajib memutuskan hubungan diplomatik dengan PNG sepihak. Sebab pelanggaran yang dilakukan pejabat PNG dengan melintasi wilayah NKRI tanpa izin, merupakan sebuah pelanggaran kedaulatan. Sudah melanggar kedaulatan, tapi masih mengancam, hal itu sudah sama dengan melecehkan.
Tanpa harus memberi ancaman dan peringatan, Indonesia langsung mengusir Dubes PNG untuk Indonesia. Buktikan bahwa Indonesia memiliki integritas. Ancaman PNG, sekalipun hanya bersifat agitasi kata-kata, sudah merupakan penghinaan bagi 250 juta rakyat Indonesia.
Andaikata penghinaan ini terjadi ketika Proklamator Soekarno masih hidup atau pada saat Soeharto masih berkuasa, ancaman PNG itu tidak akan sedahsyat seperti sekarang. Tidak bakal terjadi PNG yang mendikte Indonesia.
Ancaman PNG itu, dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa, sebetulnya sebuah peluang. Inilah peluang dan momentum bagi SBY menyatukan kembali rakyat dan bangsa Indonesia melalui sebuah isu "harga diri sebuah bangsa".
Rakyat dan bangsa yang sudah terpecah-pecah akibat kegagalan SBY dalam memerintah, dapat diajak untuk bersatu memerangi musuh bersama. Musuhnya jelas dan hanya satu yaitu PNG.
Dengan menjadikan PNG sebagai musuh bersama, bukan hanya persatuan dan kesatuan yang dapat dicapai. Tetapi mencegah jangan sampai Papua Barat dan Papua yang berbatasan dengan PNG, terlempar dari bingkai NKRI. OPM tidak akan seenaknya menggunakan PNG sebagai basis persiapan dan persembunyian.
Sumber:inilah.com
Welcome to my blog, Thanks for visiting and reading.
0 comments:
Post a Comment